Minggu, 12 Oktober 2014

Victoria





:”Ini bukan tentang siapa-siapa, ini tentang banyak aku, sedikit kamu, dan mereka.”




“Katanya, hidup itu seperti laut yang selalu betemu pasang surut”
Hidup memang tak pernah ada yang mudah. Tuhan pun sudah mengatur pada setiap garis tangan manusia. Siapa yang bertahan dalam setiap kebaikan, maka ia akan mendapatkan balasan kebaikan. Begitu pula sebaliknya, siapa yang menanam keburukan maka ia akan menuai buah yang buruk pula.
Tapi, hakikat seorang manusia pasti tak luput dari rasa bosan dan sebuah pemberontakan terhadap peraturan, bahkan terhadap hati kecilnya sendiri. Karena rasa bosan itulah, kita lebih senang berpura-pura, menjadi munafik karena sebuah alasan tak ingin di anggap remeh orang lain. Sampai-sampai tak sadar, jika kita tak pernah menjadi diri sendiri.
Jiwa yang sudah terpengaruh dengan omongan orang yang sebenarnya tak perlu didengarkan, menjadikan kita selalu terbebani dengan pikiran-pikiran berat yang sebenarnya tak perlu dipikirkan. Maka satu-satunya balas dendam terbaik adalah sebuah pembuktian. Namun terkadang untuk mewujudkan semua yang diinginkan tak jarang kita menghalalkan segala cara dan tak peduli jika sebenarnya kita telah keluar jalur melanggar peraturan Tuhan. Lantas apakah Tuhan masih akan melihat kita ketika kita sama sekali tak merasa jika sudah berkhianat?. Jelas, dosa ada di setiap diri kita. Seperti kertas putih yang perlahan hitam karena noktah-noktah dari setiap apa yang kita lakukan.
Hidup selalu berputar. Dan kita pun senantiasa bermetamorfosa. Aku, kamu, kita. Semua, pasti pernah mengalami kegagalan, kesalahan, dan bahkan keterpurukan. Berkali-kali gagal itu biasa. Tapi, berkali-kali bangkit itu baru luar biasa. Penyesalan itu sudah pasti. Tapi, memaafkan diri sendiri adalah kunci menemukan jalan yang jauh lebih baik dari yang sudah pernah kita lewati. Dan kebahagiaan telah menanti di ujung untuk kita raih.

“Katanya, cinta itu seperti pasir yang jika digenggam semakin mangkir”
Cinta?
Biar saja para ahli filsafat sok tahu yang memikirkan maknanya sampai berdarah-darah. Haruskah selalu ada alasan di setiap kata cinta?. Buatku cinta adalah satu. Cinta, ya itulah maknanya.
Cinta adalah soal hati. Bukan dilihat dari apa yang kau punya, atau apapun yang telah kau dapatkan. Sekali lagi ku tegaskan, cinta itu dari hati. Jika kau mengatakan mencintaiku karena kau punya segalanya, maka kau belum paham dan belum mengerti bagaimana jika hatiku mencinta. Jangan buru-buru. Belajarlah dulu untuk memahamiku, maka kau akan tahu apa itu cinta. Tentu saja, cinta seperti yang kuharapkan. Tanpa pemanis buatan ataupun asam sitrat sebagai penambah rasa. Alami dan apa adanya.

“Katanya, pelabuhan itu seperti pantai; tempat pertemuan laut dan pasir”
Ada yang bilang: jika cinta ditolak, lalu kemana hati kan berlabuh?. Tak dapat dipungkiri, jika seseoreang memang terkadang khawatir tak mendapatkan cinta sejati. Padahal, sebenarnya yang harus direfleksi kembali adalah diri sendiri. Apakah kamu sudah mengerti mengapa sebuah penolakan harus terjadi?.
Memahami, itulah kuncinya!. Mencoba memahami saja bahkan belum cukup. Sekali lagi aku bilang, seorang wanita adalah seorang yang selalu ingin di dengar bukan hanya menjadi pendengar. Karena dia tercipta dari tulang rusuk yang bengkok. Jika dipaksa lurus dia akan patah, tetapi jika dibiarkan bengkok dia akan rapuh. Inilah bagaimana telinga harus memaksimalkan fungsinya untuk mendengar. Dengan mendengar kamu akan tahu apa yang harus kamu lakukan untuk dapat sampai ke hatinya.
Perlahan tapi pasti. Kebanyakan dari wanita adalah realistis. Karena membentuk sebuah komitmen itu tidak main-main. Harus bisa dipertahankan untuk jenjang waktu lama. Maka ibarat bangunan rumah, pondasinya harus kokoh dan kuat agar tidak mudah goyah jika terkena badai.
Dan sampai saat ini, hatiku adalah sebuah pelabuhan yang masih tetap menunggu perahu datang untuk menjemputku dengan cinta sejati dan alami.







0 komentar:

Posting Komentar