Jumat, 20 November 2015

Just "S"




Hey you, yes you there. Look my heart, there is you inside :*

Rabu, 18 November 2015

Secangkir Rindu: Nikmati dan Teguklah di Tengah Aroma Hujan!


November rain kembali mengalun, setelah lama tak kutemui hujan pada malam panjang gersang kemarin.

Apa kabar? Masihkah menyebut aku dan kau dengan kita? Aku masih disini, di tempat yang sama, dengan cangkir kopi yang sama, bolehlah angin menghembuskan rinduku padamu disana, tak ingin mengusik, hanya menyapa saja.

Seperti yang sudah-sudah, tak henti aku meneguk secangkir rindu yang selalu terasa hangat meski dingin menyeruak. Betapa waktu begitu hebat, meski singkat, nyatanya telah mampu membuatku jatuh hati padamu hanya dalam beberapa kali tatap.
Aku penasaran, apakah kau masih meneguk cangkir rindumu dengan aroma dan rasa yang sama? Apa kau juga penasaran dengan rasa cangkir rinduku?

Rupanya, gerimis asin yang jatuh dan mendarat pada cangkirku telah menambah rasa kenikmatan seduhan kopiku. Mau mencobanya? Pernahkah kau menikmati kopi asin pada malam dingin di tepian jendela kamar? Inilah yang setiap hari kulakukan, mencoba untuk membunuh rindu yang semakin liar menjalar memenuhi sekat-sekat kekosongan hati yang  tertawan. 

Kuhirup aroma hujan yang menyegarkan sejenak garba penciumanku. Kutatap jalanan basah dengan lalu lalang orang, pulang dari lelah untuk mendaratkan pelukan di rumah yang hangat. Betapa aku merindukan hal itu. Sudah habis masaku mendustai hati. Inilah yang terjadi, bagaimana bisa aku tak menemuimu di malam hujan, sedangkan kau menjadi satu-satunya alasan kerinduan yang ingin kutemui saat hujan datang.

Bintang-bintang meredup, bulan apalagi, mataku terus mengabur, berkaca basah, pecah dan melebur dalam hampa. Aku tak pernah benar-benar takut akan resiko mencintai seperti ini. Bukankah cinta pada akhirnya selalu membuat orang berubah? Dari waras menjadi gila, dari awas menjadi buta, dari lemah menjadi kuat, dari sedih menjadi bahagia. Dan banyak perubahan-perubahan yang tak bisa kujelaskan. Terlalu ajaib, terlalu misteri.

Lalu sudahkah kau merasakan perubahan itu? Kita tak pernah berjanji, kau pun tahu aku tak pernah menyukai butir-butir janji manis yang semu dan hanya menguap pada letupan bibir. Buatku tak semudah itu, bahkan kesetiaan saja tak cukup menjaga dua hati tanpa adanya perjuangan dan pengorbanan. Klise? Memang. Tapi jika untuk mengikat janji saja begitu rapuh, lalu bagaimana bisa memperjuangkan untuk bersatu?

Sekarang harus bagaimana lagi? Mengetukmu berkali-kali juga tak kunjung membuat kita bersua, tapi kau tenang saja, aku bukanlah orang yang dengan mudah menyerah tanpa ada alasan jelas untukku benar-benar meninggalkan. Tapi selayaknya kau, aku juga butuh satu kepastian. Jika merasa sama, mengapa harus mengelak, mengapa harus melawan hati? Meleburlah, mari berjalan beriringan dan saling menggenggam tangan.

Entah ini sudah ke berapa kali seduhan. Ku ingin kau menikmatinya pula, secangkir rindu dengan dua sendok kehangatan, dan satu sendok kemurnian. Nikmati dan teguklah ditengah aroma hujan.

-Rain, 181115

Kamis, 05 November 2015

Hati: Samudra Luas Tanpa Tepi





Awalnya kupikir aku adalah sebuah jiwa yang bebas melakukan apapun yang kumau. Tapi ternyata aku salah, aku adalah kumpulan fragmen dari banyak hal yang ku lihat, ku rasakan, dan kuciptakan. Aku dibentuk atau lebih tepatnya terbentuk dari penguapan oase rasa yang kuhanyutkan dalam hati. Entah itu akan mengapung, melayang, ataupun tenggelam, semua yang kulalui tak pernah menjadikan sia-sia.

Hitam dan putih, abu-abu, biru, warna-warna itu bukan hanya tercipta tanpa makna apa-apa. Ku lalui hari bersama langkah yang kuusahakan agar tak pernah berdusta. Aku harus tahu apa yang kuinginkan tanpa harus berpura-pura. Terkadang langkahku hitam bahkan lebih hitam daripada malam, kadang juga langkahku putih namun tetap tak lebih putih dari malaikat, tak jarang langkahku juga abu-abu, diselimuti keraguan dan kehampaan yang membuatku mengambang pada satu keadaan.

Aku tidak menganut paham teori tentang hidup siapapun. Buatku hidup adalah transformasi diri, yang tahu adalah hanya yang menjalani. Hidup dimanapun tak akan pernah menjadi masalah selama hati tak pernah hilang. Mengapa hati? Karena sebenarnya hati adalah denyut nadi. Semua bermula dari hati. Ketika emosi melintas dan membekas semua tergantung dari hati membiarkannya tetap terluka menganga, atau perlahan mengobatinya dan menunggu bekasnya memudar hingga menghilang.

Sebongkah hati adalah samudra luas tanpa tepi. Segala rasa tumpah ruah didalamnya, sakit, terluka, kecewa, sedih, marah, jengah dan banyak sekali emosi lainnya yang bahkan mengundang airmata untuk meleleh. Tetapi, intinya hanyalah satu, semua itu merupakan bagian dari hidup. Ketika semua merasa tak cukup untuk dibendung, hati akan memilih menjadikannya sebagai kekuatan atau justru sebaliknya menjadikan bom waktu yang akan ada masanya untuk meledak.

Aku selalu berusaha untuk mencintai diri sendiri dengan sangat dalam, karena ketika aku bisa mencintai diriku sendiri maka aku akan sangat mudah untuk berbagi cinta dengan yang lain. Setiap perjalanan, sepasang mata emitropiku tak pernah berhenti untuk memandang. Merefleksi diri, bercermin dengan yang lain, karena hidup bukan hanya tentang diriku, karena perjalanan bukan hanya mengiring langkahku, tapi juga yang lain. Tak perlu membawa selembar kertas yang berisi penuh daftar pertanyaan layaknya reporter atau jurnalis handal dengan segudang pertanyaan hebat. Aku hanya melihat semua dengan hati dan rasa. Bahkan hanya dengan intuisi sebenarnya semua orang bisa membongkar rahasia orang lain.

Hanya cinta yang akan membawa orang kembali, karena cinta menawarkan kebahagiaan mutlak jika didasari dengan awal yang benar. Dan kebenaran akan selalu terungkap, pada akhirnya.


-Rain, 051115

Selasa, 03 November 2015

Taylor Swift - Bad Blood / Complicated MASHUP - Cover by Morgan Hawley

AKU (seribu tanya dalam diam)



Aku bertanya-tanya. Adakah yang terlalu salah dalam diriku? mencampuri urusan orang tidak pernah, mengganggu apalagi. Ketika banyak yang meragukanku dan menghakimi hanya karena melihat penampilanku, lebih baik aku menjadi kafilah yang berlalu daripada harus mendengar gonggongan anjing tak bermutu. Bukan aku kejam, tapi setiap pilihan pasti memiliki resiko dan aku tahu itu. Aku tahu, memilih diam dan berlalu bukan berarti aku bisu dan tak mau mendengar. Tapi justru karena mulutku terlalu berharga hanya untuk menanggapi ocehan sampah, dan telingaku terlalu bising hanya untuk mendengar bualan semata. Aku, tidak sanggup seperti itu.

Dulu aku selalu menjadi orang lain, memakai topeng dan berusaha untuk menyenangkan hati yang lain walau aku harus menelan pahit pegagan sekalipun, karena yang terpenting adalah aku menjadi seorang teman yang tulus. Tapi setelah aku berpikir dan menyadari, ternyata aku tidak benar-benar menjadi seorang teman yang tulus melainkan hanya seorang  munafik. Sebenarnya bukan perkara bagaimana kita bisa membahagiakan orang lain, tapi sejauh mana kita bisa bahagia dengan orang lain.

Ada yang bilang jujur saja walaupun itu pahit, memang itu sepenuhnya benar. Jika memang tak nyaman mengapa berusaha menjadi orang lain? selama aku hidup di negara berdikari dan demokrasi, selama itu pula aku bebas menentukan pilihan apa yang menurutku baik untuk diriku sendiri.

Sebenarnya, pada akhirnya perjalanan akan membawa kita dan menunjukkan siapa sebenarnya kita.

Siapalah aku? hanya manusia yang banyak dosa dengan segudang pemikiran yang kadang menjadi bulshit bagi sebagian orang. Ingin berpengaruh? tidak sama sekali. Aku hanyalah sebuah fragmen yang membutuhkan ruang untuk dapat bernapas dan menghirup udara untuk menyegaran lubang pori-pori. Terlepas dari nama "AKU" , keakuan itu sendirilah yang akan memutuskanku ingin menjadi apa.

Siapa yang tau maunya hati? hati tetaplah menjadi misteri yang paling misteri. Siapa yang tahu, kesendirian ini dapat menjelma menjadi sebuah kekuatan atau justru melemahkan seluruh persendianku dan menghalangiku berteriak, menangis, ataupun berlari. Siapa yang tahu aku? bayangan yang menjelma dibalik bayangan, topeng yang bertopeng, atau misteri yang tak terpecahkan oleh kemampuan sang detektif sekalipun.

Aku kejam, tak mau mencintai padahal hati memiliki cinta begitu dalam. Aku jahat, mengelabui perasaan dengan berjuta pemikiran logika. Aku sadis, menjelma kuat bak lelaki kekar padahal aku perempuan yang dekat dengan kelemahan. Ada apa dengan diriku? apalah arti airmata jika tak kutemukan apa-apa, apalah arti jejak langkah jika aku masih saja terus tersesat? berkali-kali terluka bukan menjadi alasan aku terkapar lebam seperti habis ditampar godam.

Aku, butuh seribu keyakinan dan alasan hanya untuk mengambil satu keputusan. Aku, adalah seribu tanya dalam diam di pelupuk hitam bayangan mata.

-Rain, 031115

Fragmen




Sejenak ku terdiam, memandang lekat-lekat diriku sendiri di depan cermin. Ada guratan kerut kesedihan pada pelupuk mata dan garis bibir. Apa yang kutahu, mengapa wajahku begini? Siapa yang menipu, cermin dengan pantulanku sendiri, atau aku memiliki seribu muka yang kadang menjebak siapapun, bahkan diriku sendiri? Ini memang aneh, padahal aku mencintai diriku sendiri bukan karena jumawa dan membanggakan diri, tidak. Aku mencintai diriku sendiri karena itu memang harus. Berhati-hati terhadap setiap serangan pada hati dan pikiran. Karena perasaan adalah salah satu hal yang masih setingkat lebih rendah dari pikiran dengan logikanya, ternyata juga mampu menjadikanku limbung hingga hampir hilang arah. 

Yang seperti ini tidak bisa dibiarkan, aku adalah milikku sendiri, kendali diri, proteksi, dan penentu kebahagiaan untukku sendiri. Tentu ini tidak bisa dikatakan dengan egois, ketika arah tak lagi seperti yang seharusnya, maka kendali diri harus berperan aktif mengembalikan arah. Begitu juga denga perasaan yang juga dapat mempengaruhi kinerja pikiran dalam mengambil langkah, maka proteksi harus mengambil andil dalam memilih perasaan apa yang layak untuk diperjuangkan, dan kebahagiaan haruslah selalu diperjuangkan.

Seperti fragmen yang tak bisa disentuh, melayang-layang, lalu menguap, lindap menjadi bayang-bayang tanpa arah. Betapa rasa sendiri pada ruang batas itu sama sekali membosankan dan sungguh menyebalkan. Bagaimana aku memberikan pertahanan untuk jiwa kesepian yang bahkan seseorang yang sempat kupercaya untuk berbagi pun telah membuatku lagi-lagi memilih untuk mundur dan berusaha damai dengan diri sendiri.

Tapi ini juga bukan hanya tetang diriku saja, tak akan pernah mungkin mencintai sekaligus menjadi bijak. Aku tidak mendengarkan bualan yang hanya menguap dengan aroma pemanis buatan. Ketika aku berpikir, maka disitulah letak kesadaranku sesungguhnya. Dan mungkin dengan begini adalah satu-satunya cara untukku dapat tetap bertahan.

-Rain, 031115

Senin, 27 Juli 2015

Love Me Like You Do / Style MASHUP - Ellie Goulding / Taylor Swift - Cov...